ERGA DIGITAL
ZoyaPatel

Fenomena Wisuda SD/MI yang Marak: Antara Apresiasi atau Komersialisasi?

Mumbai
Fenomena Wisuda SD/MI yang Marak: Antara Apresiasi atau Komersialisasi?

Beberapa tahun terakhir, tren wisuda SD dan MI merebak di berbagai wilayah Indonesia. Dari kota hingga pelosok desa, anak-anak usia sekolah dasar kini ikut diwisuda lengkap dengan toga, foto keluarga, dan panggung layaknya kelulusan sarjana.

Namun, apakah wisuda ini benar-benar perlu? Ataukah hanya bentuk gimmick seremonial yang tak sepadan dengan makna pendidikan dasar?

Wisuda SD/MI: Budaya Baru yang Menjadi Tren Nasional

Jika dulu wisuda hanya dikenal di jenjang SMA atau perguruan tinggi, kini wisuda tingkat SD dan MI pun menjadi hal biasa. Bahkan beberapa sekolah menyelenggarakan di gedung mewah, dengan biaya kontribusi yang mencapai Rp150.000–Rp250.000 per siswa.

Di beberapa tempat, orang tua mengaku harus meminjam uang agar anaknya bisa tampil di acara wisuda. Tekanan sosial, gengsi, dan harapan orang tua menjadi pendorong utama di balik maraknya fenomena ini.

Faktor-Faktor yang Memicu Maraknya Wisuda Anak SD

1. Harapan dan Kebanggaan Orang Tua

Banyak orang tua dari kalangan menengah ke bawah menjadikan momen ini sebagai bentuk kebanggaan. Terutama mereka yang tidak sempat merasakan bangku kuliah. Namun, ini sering kali menjadi proyeksi emosi yang tidak relevan dengan kebutuhan anak.

2. Tekanan Sosial dan Budaya Gengsi

“Kalau sekolah lain mengadakan wisuda, masa sekolah kita tidak?” — kalimat seperti ini sering muncul dalam rapat komite. Akibatnya, sekolah pun ikut-ikutan, meski harus mengorbankan dana dari wali murid yang ekonominya pas-pasan.

3. Komersialisasi Pendidikan

Fenomena wisuda juga menjadi lahan bisnis bagi vendor toga, jasa foto, percetakan, hingga EO kecil. Momentum pendidikan berubah menjadi peluang ekonomi musiman yang sayangnya membebani wali murid.

Analisis: Apa Dampak dari Fenomena Wisuda Dini Ini?

Dari sisi pendidikan, wisuda yang terlalu dini bisa berdampak negatif. Anak bisa tumbuh menjadi pribadi yang hanya mencari apresiasi instan, bukan mencintai proses belajar. Mereka bisa kehilangan semangat untuk berjuang jangka panjang.

Sedangkan dari sisi sosial, budaya selebrasi ini memicu kesenjangan dan kecemasan kolektif di kalangan orang tua. Mereka rela berutang atau memaksakan biaya demi tidak merasa "ketinggalan zaman".

Alternatif Bijak: Selebrasi Pendidikan yang Sederhana Tapi Bermakna

Sekolah dan orang tua perlu duduk bersama membahas ulang konsep apresiasi anak. Wisuda boleh saja, asal tetap proporsional dan tidak memberatkan. Bisa dengan pentas seni sederhana, penghargaan siswa berprestasi, atau kegiatan keluarga yang inspiratif.

Pendidikan bukan soal seremonial, tapi tentang bagaimana anak membentuk karakter, semangat belajar, dan akhlak mulia.

Kesimpulan

Fenomena wisuda SD/MI mencerminkan pergeseran nilai dalam dunia pendidikan kita. Di satu sisi memberi apresiasi, tapi di sisi lain mengandung risiko komersialisasi dan tekanan sosial yang tidak sehat.

Sekolah perlu kembali pada fungsi utamanya: mendidik, bukan mendandani. Karena yang dibutuhkan anak bukan panggung, tapi pondasi.

Label: Pendidikan Anak, Wisuda SD, Opini Pendidikan, Artikel Edukasi, Komersialisasi Sekolah, Fenomena Sosial

Ahmedabad