ERGA DIGITAL
ZoyaPatel

Ilusi Angka di Tengah Derita: Membongkar Kosmetik Statistik Kemiskinan di Jawa Tengah

Mumbai
Ilusi Angka di Tengah Derita: Membongkar Kosmetik Statistik Kemiskinan di Jawa Tengah

Baru-baru ini Pemerintah Provinsi Jawa Tengah menyambut baik laporan Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan penurunan angka kemiskinan di wilayah tersebut. Per Maret 2025, tingkat kemiskinan menurun dari 9,58% menjadi 9,48%, atau sekitar 29.650 jiwa keluar dari garis kemiskinan. Gubernur Ahmad Luthfi menyebut capaian ini sebagai hasil kerja kolektif berbagai pihak dan menekankan pentingnya menjaga momentum melalui kerja sama lintas sektor.

Meski begitu, pemerintah mengakui tantangan masih besar. Fokus diarahkan pada intervensi di sektor strategis seperti pendidikan menengah, perbaikan rumah tidak layak huni (RTLH), dan penguatan layanan dasar seperti kesehatan dan bantuan sosial. Wakil Gubernur Taj Yasin turut menekankan pentingnya validasi data sosial ekonomi agar program penanggulangan kemiskinan lebih tepat sasaran. Peralihan ke sistem data tunggal nasional (DT-SEN) pun dinilai krusial untuk memastikan intervensi benar-benar sampai ke masyarakat yang paling membutuhkan.


Setiap kali pemerintah mengumumkan penurunan angka kemiskinan, kita seolah diminta untuk serentak berdiri dan bertepuk tangan. Namun, di tengah riuh rendah harga beras yang terus mendaki dan nasib buruh harian yang tak kunjung membaik, tepuk tangan itu terasa hampa dan penuh kepalsuan.

Pertanyaannya bukan lagi sekadar apakah angka kemiskinan di Jawa Tengah benar-benar menurun. Pertanyaan yang lebih mendasar adalah: apakah akal sehat kita sedang dipaksa untuk tunduk pada sebuah ilusi statistik yang diciptakan untuk menenangkan, bukan untuk menyejahterakan?

1. Manipulasi Definisi, Bukan Solusi: Garis Kemiskinan yang Tidak Masuk Akal

Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data bahwa angka kemiskinan menurun. Namun, kemenangan ini terasa semu ketika kita membongkar fondasinya: definisi "miskin" itu sendiri.

Mari kita bedah angkanya. Garis Kemiskinan (GK) per Maret 2023 di Jawa Tengah adalah Rp503.740 per kapita per bulan. 

Artinya, jika pengeluaran Anda Rp16.800 per hari, Anda sudah dianggap tidak miskin. Dengan uang sekecil itu di dunia nyata—cukup untuk sebungkus nasi dan sebotol air mineral—seseorang secara ajaib terangkat dari jurang kemiskinan di atas kertas laporan.

Logika yang sama berlaku untuk rumah tangga. Dengan GK rumah tangga rata-rata sekitar Rp2,3 juta per bulan untuk 4-5 orang anggota, pemerintah seolah berkata bahwa sebuah keluarga bisa hidup layak untuk makan, membayar sewa, transportasi, biaya sekolah, dan menjaga kesehatan dengan dana tersebut. 

Ini bukan lagi statistik, ini adalah fiksi ilmiah.
Ini adalah strategi yang paling mendasar: jika Anda tidak bisa menaikkan kesejahteraan rakyat, maka turunkan saja standar kelayakannya.

Penurunan angka kemiskinan yang kita lihat bukanlah cerminan perbaikan nasib, melainkan kemenangan kosmetik yang diraih dengan cara menyesuaikan definisi.

2. Ironi di Tengah Inflasi: Ketika Statistik Melawan Logika Ekonomi

Hal yang lebih absurd adalah klaim penurunan Garis Kemiskinan di beberapa periode justru terjadi saat biaya hidup meroket. Inflasi pada harga pangan, biaya pendidikan, transportasi, dan kesehatan adalah realitas yang dirasakan semua orang. 

Logika sederhananya, jika biaya hidup naik, seharusnya Garis Kemiskinan sebagai batas pengeluaran minimum juga ikut naik.

Ketika yang terjadi adalah sebaliknya, ini adalah sinyal bahaya. Ini menunjukkan bahwa parameter yang digunakan untuk mengukur kemiskinan semakin jauh dari realitas lapangan. Angka-angka ini tidak lagi berfungsi sebagai cermin sosial, melainkan sebagai alat untuk merapikan laporan agar terlihat "manis" dan "sesuai target".

Di berbagai daerah, seperti Kabupaten Semarang dan sekitarnya, pengangguran terselubung (mereka yang bekerja serabutan dengan pendapatan tak menentu) dan lesunya UMKM akibat daya beli yang anjlok adalah pemandangan umum. 

Mereka menderita, tetapi tidak tercatat sebagai "miskin ekstrem" karena secara teknis masih memiliki penghasilan, sekecil apa pun. Statistik telah mensterilkan penderitaan mereka.

3. Jebakan "Rata-rata" dan Pertumbuhan Ekonomi yang Elitis

Pemerintah seringkali mengaitkan penurunan kemiskinan dengan pertumbuhan ekonomi. Namun, korelasi ini seringkali palsu dan menyesatkan tanpa data yang lebih dalam. 

Pertumbuhan ekonomi menjadi tidak berarti jika hanya menetes ke atas—dinikmati oleh segelintir elite dan korporasi besar.

Yang perlu dipertanyakan adalah distribusinya. Apakah kue pertumbuhan itu sampai ke piring rakyat kecil? Tanpa menyertakan Gini Ratio (indeks ketimpangan) secara transparan, klaim ini hanyalah retorika politik.

Begitu pula dengan penggunaan angka "rata-rata". Menyebut "rata-rata anggota rumah tangga miskin adalah 4,40 orang" adalah cara statistik untuk menyembunyikan realitas yang lebih brutal. 

Angka ini menutupi fakta bahwa mungkin lebih banyak keluarga miskin yang memiliki 6-8 anggota, yang penderitaannya dinetralkan oleh keluarga kecil lainnya dalam perhitungan. Statistik rata-rata adalah bentuk dehumanisasi; ia mengubah wajah-wajah keputusasaan menjadi angka yang netral dan dingin.

Hentikan Pembodohan, Hadapi Kenyataan

Ilusi Angka di Tengah Derita: Membongkar Kosmetik Statistik Kemiskinan di Jawa Tengah

Klaim penurunan angka kemiskinan yang didasarkan pada definisi yang dimanipulasi kemudian dipoles menjadi bahan kampanye, dicetak di spanduk pinggir jalan, dan diulang-ulang dalam pidato pejabat. Ini adalah narasi berbahaya yang meninabobokan publik, membuat kita percaya pada kemajuan yang sebenarnya tidak pernah terjadi secara substansial.

Ini bukan lagi sekadar persoalan metodologi statistik, ini adalah soal kejujuran dan keberpihakan. Kemiskinan adalah pengalaman nyata tentang perut yang lapar, anak yang putus sekolah, dan masa depan yang suram. Ia tidak bisa diselesaikan dengan menekan angkanya di dalam file Excel.

Sebagai masyarakat, kita harus berani membuka mata dan menolak ditipu oleh statistik yang tidak berpihak pada realita. Jika pemerintah serius ingin memberantas kemiskinan, langkah pertama adalah menghentikan kebiasaan menipu publik dengan data yang definisinya dipermainkan.

Karena jika tren ini terus berlanjut, yang akan menjadi miskin bukan hanya rakyat secara ekonomi, tetapi juga logika dan nurani bangsa ini.



Ahmedabad