Danantara: Super Holding BUMN, Risiko Privatisasi & Tafsir Ekonomi Islam
Danantara dan Lompatan Ekonomi ala Presiden Prabowo
Model ini mengacu pada Sovereign Wealth Fund (SWF) seperti Temasek (Singapura) dan Khazanah (Malaysia), dengan tujuan mendorong efisiensi, ekspansi bisnis, dan optimalisasi aset negara. Namun berbeda dengan SWF klasik yang mengelola surplus ekspor SDA, Danantara lebih fokus pada penggabungan BUMN ke dalam satu entitas besar yang mengelola dividen dan investasi langsung.
Analisis Kritis: Celah Hukum dan Risiko Kekuasaan Terpusat
1. Lemahnya Pengawasan: BPK Dilemahkan UU No. 1/2025 membatasi peran Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) hanya pada Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT), dan itupun atas permintaan DPR. Ini menutup akses pengawasan rutin atas keuangan dan kinerja Danantara, padahal audit BPK terbukti menjadi kunci pembongkaran kasus seperti Jiwasraya, Asabri, dan Pertamina.
2. Business Judgment Rule (BJR) = Imunitas Terselubung? Penerapan BJR dalam UU BUMN memberikan perlindungan hukum kepada direksi dan komisaris dari tuntutan hukum, selama keputusan dianggap diambil secara "wajar". Namun dalam praktik, ini berpotensi menjadi tameng legal untuk keputusan yang merugikan negara, apalagi jika tidak ada mekanisme check and balance yang kuat.
3. Risiko Privatisasi dan Pelepasan Aset Strategis UU terbaru memisahkan status kekayaan BUMN dari kekayaan negara, membuka ruang bagi privatisasi aset vital. Padahal sebelumnya, kerugian BUMN otomatis dianggap kerugian negara. Tanpa definisi jelas atas "hajat hidup orang banyak", BUMN sektor energi, telekomunikasi, dan tambang bisa saja dijual secara legal namun tanpa kontrol publik.
4. Risiko Investasi Non-Riil & Over Leverage Danantara menargetkan investasi di sektor portofolio dan hilirisasi. Tanpa manajemen risiko yang canggih, fluktuasi pasar dapat menyebabkan kerugian besar. Dengan aset jumbo, kegagalan Danantara bisa menimbulkan efek sistemik—mulai dari rush nasabah bank BUMN, hingga keharusan bailout negara.
5. Intervensi Politik dan Kepentingan Elite Keterlibatan figur dekat Presiden seperti Erick Thohir dan Rosan Roeslani dalam Danantara menimbulkan kekhawatiran akan konflik kepentingan. Hal ini mengingatkan pada skandal 1MDB di Malaysia, yang melibatkan penyalahgunaan dana negara oleh elite politik.
6. Hilangnya Peran Sosial BUMN Ketika dividen BUMN dikontrol sepenuhnya oleh Danantara, intervensi sosial dan pelayanan publik seperti subsidi BBM, listrik murah, dan pembangunan infrastruktur non-komersial dapat terpinggirkan. Fokus Danantara bisa berpindah ke profit maksimal, bukan kemaslahatan rakyat.
Perspektif Islam: Baitul Mal, Kepemilikan Umum, dan Ketakwaan dalam Mengelola Harta Umat
Dalam sistem Islam, pengelolaan harta negara tidak boleh dipisahkan dari syariat. Baitul Mal adalah institusi sentral yang mengelola:
- Kepemilikan umum (al-milkiyah al-‘ammah): sumber daya alam seperti air, energi, dan tambang besar tidak boleh dikuasai swasta.
- Harta milik negara: seperti tanah negara, fai’, kharaj, dan ghanimah.
- Zakat dan pungutan syar’i lainnya.
Islam melarang investasi berbasis riba, spekulatif (gharar), dan berisiko batil. Aset milik umum harus dikelola oleh negara, bukan diprivatisasi. Khalifah atau pemimpin Islam wajib memastikan bahwa pengelola harta negara adalah orang yang bertakwa dan profesional, bukan berdasarkan kedekatan politik.
Dengan demikian, Danantara dalam beberapa aspeknya bertentangan dengan prinsip ekonomi Islam:
- Mengelola kekayaan umum tanpa kerangka syariah.
- Berpotensi menyalurkan dana ke sektor riba dan saham.
- Memungkinkan privatisasi harta milik umum.
- Mengabaikan prinsip akuntabilitas syar’i.
Menuju Ekonomi Berdaulat Berbasis Syariah
Konsentrasi kekayaan negara dalam satu super holding seperti Danantara memiliki potensi besar—tetapi juga menyimpan risiko luar biasa. Dalam kerangka kapitalisme, kebijakan ini bisa menjauh dari misi kemaslahatan dan mengarah pada komersialisasi total aset bangsa.
Sebaliknya, Islam mengajarkan pengelolaan harta negara secara amanah, adil, dan transparan. Kunci keberhasilan bukan hanya pada model kelembagaan, tapi pada siapa yang mengelola dan dengan dasar apa ia mengelola.
Jika negeri ini ingin selamat dari jebakan kapitalisasi sumber daya, maka kembalinya kepada sistem Islam bukan hanya solusi normatif, tapi juga jawaban strategis.
Wallahu a’lam.