ERGA DIGITAL
ZoyaPatel

SD Negeri Sepi Peminat: Cermin Krisis Kepercayaan terhadap Negara

Mumbai
SD Negeri Sepi Peminat: Cermin Krisis Kepercayaan terhadap Negara

Beberapa tahun terakhir, berita tentang sekolah dasar negeri (SD Negeri) yang kekurangan murid menjadi fenomena berulang. Di Gunungkidul, tercatat ada 17 SD Negeri yang tidak menerima satu pun siswa baru pada tahun ajaran 2024/2025. Di Jombang, penurunan siswa SD Negeri mencapai lebih dari 2.000 anak dalam dua tahun terakhir. Di Semarang, puluhan SD Negeri bahkan harus membuka pendaftaran gelombang kedua karena kursi tak juga terisi.

Fenomena ini bukan semata karena jumlah anak yang menurun. Ini adalah gejala krisis kepercayaan publik terhadap wajah negara dalam mendidik generasi awal bangsa. Sebuah sinyal pergeseran arah pendidikan dasar yang tidak boleh dibiarkan tanpa koreksi serius.


Bukan Sekadar Sepi, Tapi Terpinggirkan

Ketika SD Negeri tidak lagi diminati, itu bukan karena orang tua tak peduli pendidikan. Justru sebaliknya: mereka mencari pendidikan yang mereka anggap terbaik bagi anaknya—dan SD Negeri tak lagi berada dalam daftar itu.

Sekolah swasta, sekolah Islam terpadu, bahkan sekolah berbasis komunitas kini menawarkan lebih dari sekadar kurikulum. Mereka menawarkan lingkungan belajar yang bersih, disiplin, religius, komunikatif, serta program pengembangan karakter. Banyak orang tua lebih memilih membayar mahal asalkan anak mereka mendapatkan pendidikan yang tidak hanya mengajar, tapi membentuk.

Sementara itu, banyak SD Negeri masih berjalan dalam pola lama: bangunan tua yang tak direnovasi, sarana belajar minim, kegiatan siswa monoton, dan guru yang lebih sibuk dengan administrasi daripada anak-anak di kelas.


Zonasi Tak Lagi Solusi

Kebijakan zonasi pendidikan yang semula dimaksudkan untuk pemerataan akses justru kini menjadi bumerang. Di banyak kota, orang tua dengan daya dan dana lebih memilih “mengakali” zonasi demi menghindari sekolah negeri terdekat yang dianggap kurang bermutu.

Sebaliknya, sekolah negeri yang berada di kawasan terpencil tidak mampu bersaing karena tidak memiliki daya tarik dari sisi mutu, fasilitas, maupun reputasi. Zonasi seharusnya dibarengi dengan pemerataan kualitas. Tanpa itu, kebijakan hanya memaksa tanpa memberi alasan untuk percaya.


Mutu Pendidikan vs. Citra Sekolah

Persaingan sekolah kini bukan lagi pada jarak dan biaya, tapi pada citra dan kepercayaan. SD Negeri, sayangnya, tertinggal dalam hal ini. Hampir tidak ada SD Negeri yang memasarkan diri secara aktif, membuat konten kreatif, atau menampilkan profil sekolah yang inspiratif.

Di era digital, ketertutupan adalah bentuk kealpaan. Sekolah-sekolah swasta memanfaatkan platform digital untuk menarik simpati dan menjangkau orang tua muda yang aktif di media sosial. SD Negeri nyaris tak bersuara di ruang publik. Ia hidup, tapi tak hadir. Ia ada, tapi tak terlihat.


Masa Depan yang Terpecah

Jika tren ini dibiarkan, kita akan menghadapi masa depan pendidikan yang semakin terfragmentasi: anak-anak dari keluarga mampu belajar di sekolah berstandar tinggi, sementara anak-anak dari kalangan bawah hanya punya “opsi sisa” yang disediakan negara.

Lebih jauh, kita akan menyaksikan hilangnya ruang sosial lintas kelas yang selama ini diwakili oleh sekolah negeri. Ketika anak-anak dari berbagai latar belakang sosial tidak lagi belajar bersama, kita sedang menyiapkan generasi yang terbelah dalam cara pandang, kemampuan, dan akses terhadap kesempatan hidup.


Haruskah Kita Menunggu Runtuh Total?

Negara tidak boleh hanya mencatat penurunan angka dan menyesuaikan anggaran. Negara harus berbenah dari akarnya. Revitalisasi SD Negeri bukan proyek kosmetik, tapi pemulihan kepercayaan.

Beberapa langkah strategis yang mendesak dilakukan:

  • Pembinaan mutu guru dan kepala sekolah, dengan insentif inovasi dan pelatihan kontekstual yang membumi.
  • Penguatan sarana dan program unggulan berbasis lokal—misalnya sekolah berbasis lingkungan, digital, atau budaya.
  • Otonomi mikro untuk kepala sekolah, agar mampu berkreasi dan menyesuaikan pendekatan dengan karakter komunitas.
  • Kampanye nasional untuk membangun citra baru SD Negeri—melalui testimoni alumni, konten kreatif, hingga kerja sama komunitas.


Penutup: Sekolah Negeri Adalah Cermin Negara

Ketika masyarakat berhenti mempercayai sekolah negeri, maka itu berarti mereka sedang kehilangan kepercayaan terhadap negara sebagai penyedia pelayanan dasar. Pendidikan dasar seharusnya menjadi alat negara untuk menjamin keadilan sosial, bukan ruang yang ditinggalkan perlahan.

Menjaga SD Negeri bukan sekadar menjaga bangunan tua, tapi menjaga keyakinan bahwa setiap anak berhak mendapat pendidikan terbaik, tanpa harus membayar mahal atau lahir dalam keluarga mampu. Dan itu, semestinya tanggung jawab negara, bukan pasar.

Ahmedabad