Bandungan: Wisata Sejuk, Jejak Pesantren, dan Luka Moral di Balik Hotel-Hotel Berlampu
Kecamatan Bandungan adalah kawasan wisata yang sejuk, memesona, dan terkenal dengan pesona alamnya. Tapi di balik hawa dingin dan bunga-bunga indah yang dijajakan di pasar, Bandungan menyimpan cerita ganda: antara keindahan dan kenyataan, antara spiritualitas dan sisi kelam sosial.
Kota Wisata di Lereng Gunung Ungaran
Secara geografis, Bandungan terletak di lereng Gunung Ungaran, menjadikannya salah satu daerah paling tinggi dan berhawa sejuk di Kabupaten Semarang. Objek wisata seperti Candi Gedong Songo, Kampoeng Kopi Banaran, Pondok Kopi Umbul Sidomukti, dan Taman Bunga Celosia menjadikannya magnet wisata keluarga dan edukasi.
Bandungan juga dikenal dengan pasar bunganya yang legendaris — menyuplai bunga potong ke berbagai kota besar di Jawa Tengah. Tapi ada hal lain yang selama ini jarang disebut di media resmi.
Sisi Lain: Hotel, PSK, dan Luka Moral
Tak bisa dipungkiri, sejak dulu Bandungan juga dikenal sebagai kawasan hotel dengan reputasi ganda. Di balik wisata dan bisnis penginapan, **beredar praktik prostitusi terselubung** yang dilakukan melalui hotel-hotel kecil hingga berbintang.
Banyak laporan sosial dan investigasi masyarakat menyebutkan adanya aktivitas penyewaan kamar jangka pendek, penggunaan aplikasi online, serta modus PSK terselubung di sejumlah tempat. Meskipun beberapa razia sudah dilakukan oleh aparat, fenomena ini masih berlangsung — **menjadi luka moral di tengah wajah wisata Islami**.
Kondisi ini bukan sekadar soal hukum, tapi juga soal spiritualitas masyarakat. Generasi muda yang tumbuh di tengah dualitas — antara masjid dan musik remix, antara ngaji dan hiburan malam — membutuhkan bimbingan dan keteguhan dari semua pihak.
Dakwah di Tengah Gelombang
Namun tidak semua larut. Justru di tengah derasnya gelombang, beberapa pondok pesantren dan komunitas dakwah Islam terus menancapkan akar perjuangan. Di lereng Gunung Ungaran bagian barat, tumbuh komunitas penghafal Al-Qur’an, majelis dzikir malam Jumat, dan kegiatan keagamaan lintas RT.
Masjid-masjid besar seperti Masjid Besar Bandungan mulai aktif dengan program Remaja Masjid Aktif, sedekah Jumat, dan pengajian sore yang mengajak anak-anak muda kembali ke langgar.
Bahkan, muncul beberapa gerakan dakwah kreatif — seperti tadarus jalanan, stand syariah di pasar, dan pengajian akustik — yang menyasar pengunjung wisata dan warga urban yang sedang “mencari arah”.
Budaya dan Tradisi Islam yang Masih Bertahan
Meski dihimpit modernitas dan tekanan pariwisata, warga Bandungan tetap menjaga ritus Islam-Jawa seperti selametan desa, haul, dan maulid Nabi. Kegiatan tersebut jadi semacam “benteng kultural” untuk tetap menjaga nilai moral di tengah erosi sosial.
Di kampung-kampung bagian selatan Bandungan, masih banyak dijumpai pengajian ibu-ibu tiap sore, remaja yang aktif di TPQ, dan kyai-kyai sepuh yang dihormati sebagai rujukan batin di saat semua serba instan.
Penutup: Bandungan Harus Dipilih, Bukan Dibiarkan
Bandungan adalah perwujudan paradoks zaman: di satu sisi, ia menawarkan keindahan alam dan warisan budaya; di sisi lain, ia terluka oleh kapitalisme moral yang tak terkendali. Tapi justru karena itu, Bandungan butuh dipeluk — bukan dijauhi. Butuh disapa — bukan dicerca. Butuh ditata — bukan dibakar dengan stigma.
Dengan pendekatan Islam yang solutif, dakwah yang merangkul, dan kebijakan yang berpihak pada moral tanpa mengabaikan ekonomi, Bandungan bisa jadi model — bahwa kota wisata juga bisa jadi kota berkah.
Ditulis oleh: AKBAR | Perspektif: Islam Sosial & Moralitas Lokal