Sejarah Gelar Haji dimasa Penjajahan .
Mumbai

Ahmedabad
Gelar haji umum digunakan sebagai tambahan di depan nama dan sering disingkat dengan "H". Dalam hal ini biasanya para Haji membubuhkan gelarnya dianggap oleh mayoritas masyarakat sebagai tauladan maupun contoh di daerah mereka. Bisa dikatakan sebagai guru atau panutan untuk memberikan contoh sikap secara lahiriah dan batiniah dalam segi Islam sehari-hari.
Namun, ternyata dalam konteks historis di era penjajahan pemerintah kolonial kafir Hindia Belanda, penyematan gelar haji digunakan untuk memudahkan identifikasi orang-orang yang perlu diawasi. Hal ini karena rata-rata orang yang pulang haji memiliki semangat pemberontakan (baca: perjuangan) lebih di atas rakyat lainnya.
Mereka dicurigai sebagai anti kolonialisme, dengan pakaian ala penduduk Arab yang disebut oleh VOC sebagai “kostum Muhammad (Mohammedan) dan serban”
Kebijakan ini dilatarbelakangi gelombang propaganda Anti-VOC pada 1670-an di Banten, ketika banyak orang meninggalkan pakaian adat Jawa kemudian menggantinya dengan memakai pakaian Arab (gamis), serta 'pemberontakan' Pangeran Diponegoro, dan Imam Bonjol yang mereka lakukan sepulang haji.
Pemerintah Kafir Hinda Belanda akhirnya menjalankan kebijakan-kebijakan khusus dalam mengelola masalah-masalah Islam di Nusantara pada masa itu.
Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Pemerintahan Belanda Staatsblad tahun 1903. Maka sejak tahun 1911, pemerintah kafir Hindia Belanda mengkarantina penduduk pribumi yang ingin pergi haji maupun setelah pulang haji di Pulau Cipir dan Pulau Onrust. Mereka mencatat dengan detail nama-nama dan asal wilayah jamaah Haji.
Begitu terjadi pemberontakan di wilayah tersebut, pemerintah kafir Hindia Belanda dengan mudah menemukan warga pribumi, karena di depan nama mereka sudah tercantum gelar haji.
Tulisan diolah ulang dari Indonesia History Reborn @sejarahbelajar
Tags:
Sejarah